Perasaan

ada masanya ketika perasaan tak bisa disalahkan. ada masanya ketika perasaan pun tak bisa dibohongi. ada masanya juga ketika perasaan diutarakan. berbagai proses yang dilalui punya hal manis dan pahit. bahkan seringkali menyiksa. seperti kata majnun yang terlalu mencintai laila : cinta itu nikmat yang menyiksa.

aku terkesima dengan cerita Ali dan Fatimah atau juga Salman Al Farishi. ketika cinta tak boleh bicara dan tak perlu diketahui. atau barangkali cinta Siti Hajar, Ibrahim, dan Bilal yang dilakukan dengan penuh pembuktian. cinta selalu manis dan tak pernah habis dibicarakan. seperti air, mengalir deras. seperti udara, tertiup keras. seperti tanah, terbongkah kuat.

tapi tak pernah bisa didefinisikan hanya dalam satu kata, satu kalimat, satu frasa. mungkin harus diuraikan dengan pengalaman berbeda yang unik dari masing-masing pemaknaan setiap insan. ahh bicara cinta. bosan sebenarnya. karena tak pernah mau diri ini menyiksa batin, menjadikannya lara. tak mau juga disalahkan atas keadaan yang tak tahu diri. tak mau pula dikhianati oleh teori dan kata manis ambigu.

masih belum saatnya mungkin. masih belum saatnya perasaan itu membuncah. harus masih disimpan. semoga Kau masih berkenan menutupi perasaanku.

‘Tidak’ dan Soda

kau pernah katakan, tak baik bicara ‘tidak’. tapi aku aku tak peduli. kau pernah berkata, tidak baik minum soda, tapi aku tak peduli. aku masih suka berkata tidak dan minum soda hingga lama kita berkenalan dan saling tahu.

awalnya aku pikir, kau katakan itu dan melarang itu karena pertemuan malam kita. mungkin kau terganggu dan tak mau diganggu dengan kata ‘tidak’ dan soda yang selalu aku bawa. mungkin juga kau tidak mau aku sakit dan disakiti karena soda itu tidak baik untuk tubuh sedangkan berkata ‘tidak’ bisa membuat orang lain kecewa. aku pikir demikian.

hingga malam tadi, kau pun masih melarangku berkata ‘tidak’ dan minum soda.

“jangan kau suka berkata begitu. tak baik. ikuti saja mau orang, berdamailah dengan mereka. jika kau memang masih bisa, penuhi saja bantulah orang lain.” aku terdiam, tak melawan seperti biasa yang kulakukan. “kau juga harus kurangi minum soda. itu tak baik untuk kesehatan. berubahlah. pikirkan kesehatanmu.” aku kembali membisu.

malam ini jadwal kita bertemu. sudah lewat dua jam dari biasa. kau biasa tak terlambat bahkan datang sebelumku. ada apa malam ini?

aku pulang. tak pernah kembali ke tempat itu lagi. tak pernah lagi ada kabar darimu. tak ada lagi yang menanyakan aku dan melarangku. kini kalau boleh aku katakan, aku tak lagi minum soda. aku juga mulai mengurangi kata ‘tidak’. terima kasih nasihatmu.

 

Baik dan Benar(?)

sudah kembali ke ladang sendiri. yang katanya tak tampak lebih hijau jika dibandingkan ladang tetangga. aktivitas sendiri itu memang terlihat tidak masuk akal, tidak menarik, dan cenderung monoton. diri sendiri pun merasa monoton, tak banyak berubah meski sudah sekian tahun kuliah.

ah, macam apa aku ini. jika begitu saja KO.

pada waktunya, aku cukup tidak suka dengan apa yang disebut aktivitas. apalagi membungkus segala hal aktivitas atas nama dakwah. dakwah yang mana? bagian mana? seperti apa?

rasanya, mendengar kata ‘dakwah’ itu pun terasa begitu berat dilakukan. padahal dulu, sering dianggap aktivitas harian yang ringan. mungkin karena akal ini sudah termakan dalam perbincangan idealisme, perbincangan pemaknaan, sehingga berat betul rasanya untuk berdakwah. bukan karena malas melainkan berat atas konsekuensi yang ditanggungnya.

apakah setiap orang pada akhirnya membawa nilai kebaikan yang benar? apakah setiap orang pun dapat membawa nilai kebenaran yang baik? kenapa ada kata baik dan benar? guruku pernah berkata, baik dan benar, kenapa baik dulu baru benar? karena yang penting, cara yang baik itu yang diutamakan. benar tapi tidak baik, bagaimana bisa diterima?

rasanya kepala ini makin pening dengan keadaan. kampus yang sok tahu, fakultas yang sok toleran, skripsi yang tak kunjung berjodoh dengan judul dan pembimbing. sudah lah. aku ingin tidur saja. berkali-kali merutuki, tapi tak ada hasil. berkali-kali usaha pun tetap tak ada hasil. jadi bagaimana baiknya?

#AmazingTeam

bergabung dalam tim @AmazingWorks_ID adalah hal baru. kami dari latar belakang elemen yang berbeda-beda. lalu kami disatukan dalam ide ini menjadi #AmazingTeam. mungkin kami bukan tim yang handal, tapi kami percaya kami tim yang penuh cinta dan mencintai dengan penuh. biarkan dengan kesederhanaan kami mendefinisikan rasa cinta ini masing-masing. mendefinisikan rindu kami masing-masing dan mendefinisikan ‘perjuangan’ ini masing-masing.

kalah secara suara, tidak pernah kami akui. karena sebelum pengumuman pun kami tak menerima hasil PEMIRA ini. mungkin ini ya yang namanya bergerak atas idealisme dan hati nurani. ketika tidak sesuai dengan nurani, tidak sesuai dengan kondisi ideal, maka kami tak mau menerima yang tidak sesuai ini. apa benar demikian?

kami sendiri tak pernah tahu, apa ukuran benar/salahnya pun kami tak kuasa. tapi kami tak merasa hasil ini menjadi masalah berarti. hati kami tetap tenang, semangat kami tetap membara, ide kami tetap berlanjut, dan gerak ini tetap akan maju. mungkin inilah yang disebut orientasi pada proses, bukan hasil.

kami menyadari bahwa kampus adalah laboratorium masyarakat. jika lab-nya seperti ini, memang belum tentu menggambarkan keadaan real di masyarakat. namun dari sini, kami justru menilai bahwa pembelajaran bermula dari sini. belajar membuat sistem yang rapi dan benar sehingga tidak merugikan orang lain. belajar memperbaiki keadaan, belajar membuat keputusan, belajar menghadapi konflik, belajar mendengarkan orang lain, belajar bersinergi, belajar menerima perbedaan. semua adalah pembelajaran, jika kita mau merenungi makna dari setiap peristiwa yang ada.

PEMIRA UI bukanlah akhir. ia hanya tools pembelajaran politik (dalam kampus). pendewasaan-lah yang dituntut selanjutnya. semoga kita sama-sama belajar dari kondisi ini semua. salam hangat dan penuh cinta untuk tim keren @AmazingWorks_ID. tetap berkarya!

#PemiraUI

apa jadinya ketika penguasa tak lagi bernurani? apa jadinya ketika penguasa tak  lagi peka dan mementingkan keterbukaan pemikiran?

hari ini PEMIRA UI selesai. penghitungan suara selesai. tpai entah akankah ada cerita lanjut yang merentetinya. hasil sudah keluar. sayang, Adnan-Wize dan Kevin-Wildan sudah mundur. tinggal 1 calon saja. Ivan-Aid (calon yang tidak mundur dan menang suara di atas kertas). Dapat dikatakan, Ivan-Aid menang ketika dua calon lain sudah tak lagi berada dalam kompetisi pemilihan. apa artinya?

alasan mereka mundur adalah terjadinya ‘pencederaian demokrasi’ dengan sistem Pemira yang amburadul. aturan Pemira, tata tertib Pemira, pelanggaran Pemira, kampanye Pemira, hingga pemungutan suara e-vote yang kacau. Server down, TPS tidak buka, ketersediaan layanan e-vote, dan sebagainya.

menyesali. tentu. menyesal karena keanehan ini, kejanggalan ini tidak banyak yang merasakan, belum bisa dibuktikan dengan data konkret. pertanyaannya : apakah kami yang mengada-ngada dan ke-GR-an merasa didzalimi ataukah memang ada sistem tertutup yang tak bisa diraba?

terlalu sistemik, iya mungkin saja. sayangnya, keresahan ini tak dirasakan publik. sayangnya, publik tak mengetahuinya. salut pada mereka yang bertahan dalam ‘pekerjaan kotor’ tersebut. ada satu hal yang masih saya pertanyakan : bisakah sistem e-vote ini dibuka kembali, siapa memilih apa? dengan NPM-nya mungkin. jujur, masih penasaran dengan ‘jumlah suara’ itu. siapa yang memilih sebanyak itu? 

pembelajaran politik harus terus dilakukan. PEMIRA bukan untuk main-main dan  adu presitise semata. Cikal bakalnya ada di sini. kalau ingin dapat hasil yang baik, prosesnya pun haruslah baik: jujur, bersih, adil. 🙂

menjadi pejuang

Apa rasanya menjadi petarung?

Apa rasanya menjadi pejuang?

terbesit pikiran itu, pasti. mempertanyakan peran itu, ya. memperhitungkan dan mempertimbangkan konsekuensi dari pilihan tersebut, tentu. 

 

sejak kecil, ayahku mengajarkan untuk selalu menjadi mandiri. ibuku pun mengajarkan aku untuk menjadi tegar dan tak mudah menangis. kakekku juga mengajarkan berkorban. pamanku pun turut mengajarkan kepedulian. aku bersyukur dengan ini. bersyukur dengan apa yang telah aku alami. pengalaman, pengetahuan terdahulu, pendidikan, dan segala tantangan selama kubertumbuh dan berkembang.

 

satu yang aku simpulkan: menjadi tokoh, menjadi pejuang, menjadi prajurit, dan menjadi tangguh.

 

ayahku seorang prajurit. keluarga kami terbiasa dengan kesederhanaan, kerja keras, dan netralitas. disiplin menjadi makanan sehari-hari. reinforcement pun digunakan dalam membangun prestasi. ibuku sebagai guru terbiasa dengan kesantunan, berpegang pada prinsip, dan memberikan yang terbaik bagi orang lain. kakekku sebagai pembelajar otodidak sejati dan aktivis organisasi mengajarkan pengorbanan tak terbatas bagi sesama. pamanku sebagai dosen dan aktivis mengajarkanku untuk menjadi ideal dan memiliki idealisme dalam kebangsaan dan keagamaan. 

 

jika kini, ada kebenaran yang terbuka, apa akau harus menutup  mata dan telinga?

maaf jika aku memilih menjadi petarung. maaf jika aku memilih menjadi pejuang. bukan pengekor, bukan kerbau dungu, bukan pula hamba yang terbelenggu. karena aku merdeka. karena aku adalah aku.

waktu

dalam sebuah perjalanan waktu,
apakah ia kan mengatakan yang sejujurnya?
kadang, sebuah kesalahan dan kekeliruan terlalu pasrah diserahkan pada periode waktu
meski sering kali hal ini ampuh untuk membunuh rasa bersalah, tapi apakah itu jalan yang benar?

dalam perjalanan waktu, tidaksedikit kebahagiaan yang akan terbit
banyak juga kesenangan bangkit atas nama waktu
tapi, ia kemudian disebut sebagai kenangan karena perputaran periode waktu

tidak ada yang abadi, tidak ada pula yang stagnan dalam menjalani hidup ini
salah satu penyebabnya adalah waktu
karena ia begitu disiplin berjalan, tak kenal kompromi
siapa yang lalai, akan lalai. siapa yang hebat, akan menjadi hebat.

meski memang, tak selamanya manusia berhasil konsisten memaknai waktu. waktu tetap yang paling luar biasa dalam konsistensi

aku selalu ingin bertemu dan berkumpul dengan orang-orang yang progresif, aktif, dan berpengetahuan. tapi aku tak suka dengan orang-orang yang congkak dan merendahkan, sehebat apapun dia, seprograsif, dan setinggi apapun ilmunya. 

dalam sebuah pemikiran, aku butuh diskusi. teman diskusi, bukan lawan diskusi. sahabat yang mau membersamai diskusi, bukan yang mendominasi diskusi. orang yang mengarahkan dan mau mencari jalan tengah bersama dalam diskusi, bukan yang mau menang sendiri.

sampah itu kotor dan bau. itu yang tak kumau. bodoh itu menyakitkan dan rendah. itu yang tak kuinginkan. 

sayang, krisis kepercayaan diri seringkali nimbrung dan mengelayutiku.

harus mundur

sebenarnya tak pernah aku ingin katakan yang sebenarnya kepadamu. apapun itu. bukan karena aku ragu. tapi karena malu.
setiap debar yang terpapar tiba-tiba, tak pernah kuinginkan. tapi itu terjadi jika sedang menghadapmu.
siksaku berlanjut, ketika masih saja kau menghubungiku.
suatu kali kumenyerah. mundur teratur adalah keputusan terbaik atas hal ini.
ketika kukatakan ingin pergi, kau minta alasannya. tapi tak pernah bisa kubuat alasan yang tepat menurutmu.
bagaimana bisa kuhidup semenderita ini?
biarkan aku jauh darimu.

Kenapa Kamu.

Dalam bulan terakhir ini, ada hal yang menggangguku. Tidurku tak tenang. Tak nyaman berbatas waktu.

Dalam pekan terakhir ini, ada sekotak sunyi. Yang tak padam meski telah kusiram dengan hujan.

Dalam hari terakhir ini, ada setumpuk cemburu. Yang tak sengaja terbesit meski telah kutahan dengan ragu.

Dalam detik ini, ada selembar rindu yang hingga saat ini belum kutahu.

Kenapa itu padamu.