Bukan Pecundang

sendu hanya menyiratkan sebuah kepedihan yang sulit diobati.

sendu hanya akan membuat yang tak baik makin menjadi

sendu hanya akan membuat yang sakit makin sakit

sendu hanya akan membuat yang lara bertambah lara

 

tidak perlu berkecil hati bila hati tak diterima

tak perlu merasa kalah bila kekalahan itu di depan mata

tak perlu merasa kecil bila kekerdilan itu mengancam jiwa

tak perlu menjadi pongah dengan kerenyahan cobaan dunia

 

mimpi tetap mimpi

harapan tetap harapan

cita dan angan akan tetap menjadi demikian

tanpa aksi dan gerakan

 

menjadi surut dan tergantikan

menjadi lemah dan terkalahkan

menjadi sedu sedan dan terlempar

 

agaknya bukan itu sikap kami

bukan itu semangat kami

bukan itu penghalang kami

 

bila ujian menerpa,

lalu bersedih,

tak kuat menahannya,

bolehlah menangis sejenak.

sejenak saja.

cukup.

lalu bangkit

karena kau bukan pecundang

 

Terlalu Manis

Tidak ada yang ringan karena semua yang ada di sini memang berat.

Gambar 

nampaknya kalimat itulah yang cukup untuk menggambarkan kondisi di asrama institusi saya dan teman-teman bernaung. Satu lagi dari kami harus pergi dengan alasan yang menjadikannya memang tidak cukup memungkinkan jika bertahan. Nyatanya, sikap hidup dan paripurnanya keadaan diri menjadi tuntutan bagi kami. Selesai dengan diri sendiri, badan yang selalu fit dan sehat, senantiasa berpikir positif, serta managemen waktu yang baik. Ini hal-hal yang mungkin harus dipenuhi sehingga dapat menjadikan kita mau berubah dan memperbaiki diri.

 

Ada banyak alasan mungkin yang dibuat, jika saya ingin pergi dari sini. Namun, bersyukur adalah cara terbaik yang bagi saya agar saya bisa bertahan. Bersyukur dengan lingkungan yang begitu memaksa saya berubah, teman-teman yang hebat dalam bidangnya, pendamping yang menjadi pembimbing, failitas yang diberikan, dan tentunya nilai-nilai kebaikan yang coba ditanamkan.

 

Tidak ada makan siang gratis. Menikmati hal-hal baik yang telah diperoleh itu pun demikian. Meski tidak akan bisa membayar setimpal, usaha dan kerja keraslah yang harus selalu dilakukan. Ada tuntutan yang memaksa diri. Lagi-lagi, paksaan ini demi peningkatan kualitas diri. Terkadang, setan terlalu kuat menguasai diri manusia sehingga rasa malas terus saja menggelayuti. Oleh karenanya, perlu memaksakan diri untuk terus bergerak dan menjadi lebih baik, tentunya.

 

Semua ini berat. Masing-masing dari pihak yang terlibat dalam institusi kami punya tanggung jawab berat. Melawan rasa malas, menjawab tantangan zaman, menjadi orang yang berpengaruh, memiliki pengetahuan luas, menjaga kesabaran, menebarkan nilai kebaikan, tetap bergaul dengan orang-orang sekitar, mengurangi waktu tidur, mencari pendanaan, menjaga performa diri, dan sebagainya. Itu hampir dilakukan oleh semua pihak dalam institusi ini. Maka, apa saya masih mau berleha-leha dan tenang dalam zona nyaman ketika yang lain berusaha segigih itu?

 

Mungkin saya yang masih cemas menghadapi ‘berat’nya beban yang ditanggung. Namun, siapa lagi yang akan menanggung tugas berat hingga terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat kelak?

 

Untuk mereka yang tidak bersama kami lagi di dalam sini, semoga di luar sana masih tetap menggenggam cita-cita untuk Indonesi. Karena ini bukan masalah tempat, bukan masalah kelompok, status atau identitas yang disandang, melainkan tentang kemauan memperbaiki diri untuk mencapai tujuan dan visi besar kita.

 

Bila ujian adalah bukti cinta Allah pada hamba-Nya

Semoga perpisahan ini pun menjadi ujian bagi ukhuwah kita atas cinta-Nya

 

 

Kuambil gitar dan mulai memainkan

Lagu yang biasa kita nyanyikan

Tapi tak sepatah kata yang terucap

Hanya ingatan yang ada di kepala

 

Hari berganti angin tetap berhambus

Cuaca berubah daun-daun tetap tumbuh

Kata hatiku pun tak pernah berubah

Berjalan dengan apa adanya

 

Di malam yang dingin dan gelap sepi

benakku melayang pada kisah kita

Terlalu manis untuk dilupakan

Kenangan yang indah bersamamu

Tinggalah mimpi

 (Slank- Terlalu Manis)

Perempuan: ASI dan Asuhan

Perempuan, rasanya tak pernah bosan saya mendengar dan membicarakan tentang makhluk satu ini. Perempuan dengan berbagai keunikan dan keterbatasanya adalah makhluk luar biasa yang dijaga betul kehormatannya dalam agama saya, Islam. Ia diberikan kemudahan dan berbagai kenikmatan yang memang sudah disesuaikan dengan kemampuannya. Bagi saya, perempuan itu bukan makhluk lemah, tak berdaya, dan bukan makhuk yang harus ditutut sama persis dengan laki-laki. Karena demikian istimewanya perempuan. Jika jihadnya laki-laki adalah berperang di jalan dakwah. Maka, merawat anak dan keluarga adalah bentuk jihadnya perempuan.  

Salah satu keistimewaan dari perempuan adalah memiliki ASI. Al-Quran sudah menganjurkan agar setiap ibu dapat memberikan ASI pada anaknya hingga usia anak maksimal dua tahun. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah: 233, “Dan para ibu yang menyusui anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang mau menyempurnakan penyusunan.” Meski kini sudah ada susu formula yang diramu dengan teknologi tinggi, namun ASI tetap tak tergantikan baik secara unsur, komposisi, dan efek manfaat yang diberikan. Penelitian dari WHO menganjurkan pemberian ASI didasarkan atas keinginan dari bayi. Setiap kali bayi menginginkan, maka ketika itulah saat yang terbaik pemberian ASI.

Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak, DTM&H, MPH dalam sambutannya pada seminar tentang “Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif Bagi Bayi Dalam Mendukung MDGs” di Jakarta, Selasa 29 Maret 2011 menambahkan bahwa delapan puluh persen perkembangan otak anak dimulai sejak dalam kandungan sampai usia 3 tahun yang dikenal dengan periode emas. Oleh karena itu, diperlukan pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dan dapat diteruskan sampai anak berusia 2 tahun. Hal tersebut dikarenakan ASI mengandung protein, karbohidrat, lemak, dan mineral yang dibutuhkan bayi dalam jumlah yang seimbang.

Sebuah penelitian ilmiah baru menunjukkan bahwa menyusui sangat berperan membantu berkurangnya risiko kanker payudara di kalangan ibu. Melinda Johnson, ahli gizi University of Arizona menyebutkan bahwa ASI merupakan asupan paling ideal bagi pertumbuhan anak. Kandungan  docosahexaenoic acid (DHA) dan omega 3 merupakan asupan yang sangat baik bagi pertumbuhan otak dan sistem saraf anak. Dengan adanya komponen ini, dapat menjadikan anak berprestasi akademik yang lebih baik. ASI juga kaya akan karotenoid dan selenium sehingga ASI berperan dalam sistem pertahanan tubuh bayi untuk mencegah berbagai penyakit. ASI mengandung antibodi yang melindungi bayi dari diare dan pneumonia yang termasuk dua penyakit utama penyebab kematian anak-anak di dunia. Setiap tetes ASI juga mengandung mineral dan enzim untuk pencegahan penyakit dan antibodi yang lebih efektif dibandingkan dengan kandungan yang terdapat dalam susu formula. Baca lebih lanjut

Kembali pada Karakter Bangsa

Masalah pendidikan, nampaknya masih menarik untuk dibahas di negeri ini. Biaya pendidikan yang masih tinggi dan adanya diskriminasi hak antara anak bangsa yang mampu dengan yang kurang mampu pun, nyatanya masih jadi masalah yang belum rampung diselesaikan. Salah satu contohnya adalah saat ini, ada sekolah yang disebut favorit dan yang tidak. Ada persaingan nilai dan tuntutan pendidikan juga di dalamnya. Misalnya, setiap orangtua menginginkan anaknya mendapat pendidikan terbaik di daerahnya. Kemudian, mereka memasukan anaknya ke sebuah sekolah favorit. Bagi orang berkecukupan, hal tersebut sah-sah saja dan mungkin tidak ada masalah serius.

Namun, bagi orangtua dengan pendapatan secukupnya apalagi yang berasal dari keluarga kurang mampu, mereka justru merasa terbebani dengan biaya masuk dan bulanan yang ditetapkan oleh sekolah. Berbagai upaya dilakukan dengan pinjam sana sini dan bekerja lebih keras untuk bisa menutup biaya pendidikan seorang anaknya tersebut. Akhirnya sang anak masuk dan bertemu dengan teman-temannya yang juga membayar mahal untuk bisa masuk ke sekolah tersebut. Kompetisi pun tidak bisa dihindarkan. Sebagai sekolah favorit, tempat ini menjadi ajang pertemuan orang-orang mampu, mungkin pintar, serta ditambah tuntutan mencapai standar nilai sekolah. Pengeluaran untuk biaya pendidikan kembali dikeluarkan untuk mengikuti pelajaran tambahan dan berbagai upaya lain untuk memenangkan persaingan.

Potret singkat ini terjadi di beberapa sekolah dari tingkat TK hingga perguruan tinggi yang saya temui pada masyarakat sekitar saya. Masalah biaya sekolah yang terus menjulang, keinginan mendapat pendidikan terbaik, paradigma bahwa sekolah favorit itu ‘istimewa’, dan persaingan nilai yang terjadi, kiranya menjadi hal yang patut diperhatikan. Salah satu status sekolah yang ramai jadi sorotan adalah RSBI. Kasus RSBI yang dibubarkan memberikan harapan baru agar sekolah-sekolah Indonesia dapat berbenah dari pungutan yang menjerat, kurikulum yang berkiblat pada dunia internasional, dan diskriminasi atas hak mendapat pendidikan bagi setiap warga negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pasal 31.

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) kini tengah dibubarkan oleh MK melalui pembatalan pasal 50 ayat (3) UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini  disebabkan karena RSBI dianggap bertentangan dengan semangat UUD 1945. Namun, bila akhirnya M. Nuh masih membolehkan sekolah eks-RSBI beroperasi sebagaimana biasa dengan menarik pungutan dari masyarakat dan memiliki sistem penyelenggaraa juga sama, maka sekolah RSBI diprediksi hanya akan berganti nama dan kelembagaan saja. Lalu apakah ini berarti menyelesaikan masalah sosial dalam pendidikan?

Keprihatinan saya bertambah ketika anak Indonesia tidak lagi ditanamkan untuk menghargai diri sendiri dan bangga akan negerinya. Anak sekolah di Indonesia kini seringkali disajikan pembanding-hal-hal internasional sehingga seolah anak Indonesia itu harus belajar kepada negara lain dengan kurikulum dari negara lain. Namun, apakah mutu pendidikan harus bertolok ukur pada bangsa lain? Apakah bangsa lain adalah potret kondisi ideal? Apakah karakter pendidikan mereka akan sesuai jika diterapkan di Indonesia? Bukankah bangsa ini telah memiliki ideologi dan dasar negara sebagai cerminan karakter bangsa ini sendiri?

Pasal 31 ayat 3 dan 5 UUD 1945 telah menerangkan bagaimana semestinya pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional itu. Ayat 3 menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang”. Kemudian pada ayat 5, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia”.

 

Mendapat pendidikan adalah hak setiap warga negara. Dalam pasal 31 UUD 1945 ayat 1 telah dijelaskan bahwa  “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini pun diatur kewajiban pemerintah untuk membiayainya sebagaimana termaktub dalam pasal 31 ayat 2, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Nampaknya sudah jelas bahwa demikian semestinya pendidikan di Indonesia diselenggarakan. Hak setiap anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan tanpa diskriminasi dalam hal apapun perlu diperhatikan. Bukan hanya orang mampu yang bisa sekolah dan mendapat fasilitas memadai karena orang yang kurang mampu pun harus bisa demikian. Misalnya dalam hal biaya pendidikan, mendapat buku acuan maupun pendamping terbaik, fasilitas yang mendukung, mendapat pengajar terbaik, dan sebagainya. Hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakannya.

 

Indonesia sudah punya dasar negara yang menjadi karakter bangsa ini. Dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan pun baiknya mencerminkan karakter bangsa Indonesia. Pendidikan bangsa lain belum tentu sesuai dengan karakter bangsa ini. Mungkin boleh jika sistem bangsa lain menjadi referensi, namun bukan menjadi acuan dan tolok ukur pencapaian. Ada baiknya bagi pembuat kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, kembali mengacu pada karakter bangsa Indonesia berdasarkan ideologi yang ada sehingga potensi bangsa ini mampu dioptimalkan dengan ‘gaya’-nya sendiri. Masalah pendidikan adalah masalah penting yang patut diperhatikan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, bergantung pula pada kualitas pendidikan. Saatnya Indonesia bersinar dengan dirinya dan karakternya sendiri. Semoga segera terwujud karena harapan itu masih ada.

Kepentingan

Bila kepentingan adalah sebuah makhluk busuk, maka akan segera aku hanguskan dari bumi ini. Bila kepentingan adalah sebuah sampah bau, bisa jadi akan kubakar hingga tak berbekas. Bila kepentingan adalah sebuah granat dengan daya ledak super, maka bisa jadi akan segera aku ledakan ia di tempat lapang tanpa manusia. Bila kepentingan adalah noda, maka akan aku usir segera dengen detergen ternama.

Bila kepentingan adalah lelaki buaya, maka akan kubenci selamanya. Bila kepentingan adalah burung gagak yang tak tahu diri, maka akan segera aku patahkan sayapnya. Bila kepentingan adalah sebuah elegi, maka aku biarkan ia terhanyut dalam kesedihan mendalamnya. Bila kepentingan itu sebuah kata, maka tak akan aku biarkan ia melesat sebelum aku pastikan bahwa ia bermakna konstruktif.

Bosan? Tentu. Jengah? Pasti. Mistrust? Jelas. Bagai mabuk aku tak sadarkan diri. Bagai tersesat aku bimbang, kemana berjalan dan berbuat. Yang aku hadapi, kepentingan para elit. Tidakkah rakyat dan kaum marginal menderita? Tidakkah para elit berempati pada mereka? Sayang, hati nurani mungkin tak begitu p.e.k.a menanggapinya.

Manusia

Kita mungkin tak pernah tahu, siapa manusia yang paling jujur di sekeliling kita. siapa orang yang paling bisa objektif menilai kita. siapa orang yang paling bisa dipercaya ketika berbicara tentang kita.

manusia, tetaplah manusia. bukan malaikat yang tak pernah berdosa, bukan juga setan yang selalu berdosa. ketika manusia itu baik, maka ia akan melebihi kemuliaan malaikat. namun, jika ia buruk, bisa jadi lebih keji dari syaitan.

manusia, berlapanglah dengan keadaan. berproseslah dengan kesabaran. bertahanlah dengan keimanan. bila tidak kuat atas cobaan, ujian, dan keadaan berlebihan, itu bisa jadi menjadi bumerang yang mematikan.

manusia punya banyak potensi dan kesempatan mengembangkan. tapi, apa semua tahu potensinya? apa semua tahu kesempatan di depan matanya? apa ia tahu bagaimana harus menggali potensi untuk mengeluarkannya?

ada yang sudah bisa, ada yang belum bisa.

ahhh aku tak tahu.

Kalah?!

Kalah. Dalam banyak hal saya tidak pernah suka kata ini. baik itu kata yang dibuat sendiri oleh imajinasi, akal, ataupun kenyataan yang sebenarnya. Kalah. saya tidak pernah suka keadaan ini. bersedih, mengharu, tertekan, kacau. amat membuat saya tidak semakin paham mengontrol diri.

kalah. saya bahkan tak pernah mau mengalaminya. namun, bukan tentang kalah menang yang akan dituju. tapi menguasai atau tidak. bukan tentang mendapatkan kemenangan atau tidak, tapi tentang bagaimana itu bisa terjadi.

keyakinan akan menang harus dimiliki pada saat yang tepat. jika terlalu dini merasa menang tanpa mengenal medan, kawan, lawan, bisa jadi akan mengorbankan banyak pihak nantinya. jika tidak kunjung yakin dengan kemenangan atas perjuangan pun bisa mencacatkan dan melemahkan semangat berkorban. maka, yakin akan kemenangan pada saat yang tepat degan kadar yang tepat, setelah memahami medan dan memahami kondisi diri.

merasa kalah tidak pernah menjadi hal yang dirindukan. namun bersiap kalah adalah kebijakan. merasa kalah tidak pernah diinginkan, namun tidak pernah memikirkan langkah kebangkitan setelah kalah bisa jadi membunuh diri.

kalah atau menang adalah pilihan. Do action!